Monday, May 10, 2010

Father's Talk: Bon Voyage

Oleh: Omettokun

Menjadi suami bukanlah perkara yang mudah. Alasannya adalah pria, khususnya saya, adalah makhluk publik yang sulit terikat dan diikat. Sedangkan menikah adalah suatu ikatan yang mengikat pria di kawasan domestik. Ketika seorang pria lajang berubah status dari bujang ke menikah maka ia terikat oleh jalinan ikatan rumah tangga, terikat oleh ikatan tali pernikahan, terikat oleh tanggung jawab untuk menafkahi, serta tanggung jawab-tanggung jawab lainnya sebagai kepala keluarga. Hasilnya, jika dahulu bekerja sebagai gaya hidup setelah kebutuhan, namun setelah menikah pekerjaan adalah sebenar-benarnya suatu kebutuhan untuk menunjang berbagai tanggung jawab yang diusung sebagai suami. Hasilnya hidup menjadi terasa monoton. Mungkin karena hal-hal itulah sebagian orang, khususnya pria, memilih untuk berkarir dahulu dan tetap menjomlo walaupun sudah cukup dewasa atau umur untuk berumah tangga. Nantilah urusan rumah tangga bisa menyusul kemudian yang penting karir harus kokoh, atau berumah tangga nanti jika telah memiliki rumah sendiri, dan ‘nanti-nanti’ lainnya.

Setelah menjadi suami kemudian beranjak menjadi ayah setelah anak-anak lahir. Dengan kata lain, tanggung jawab pun bertambah terutama sekali dalam hal nafkah. Pada tahap inilah biasanya berbagai permasalahan itu muncul, mulai dari masalah sepele hingga masalah yang bersifat prinsipil. Bukan hanya itu saja, kesabaran pun turut diuji karena gejolak emosi yang ikut andil di sana. Misalnya,keadaan rumah berantakan setiap pulang kerja padahal setelah berjibaku dengan penat dan lelah yang dibayangkan adalah rumah yang rapi, kamar yang bersih, dan secangkir teh hangat, namun pada kenyataannya rumah berantakan si kakak rewel minta ini-itu yang nggak jelas apa yang dia mau, si adik sibuk mainin makananya hingga bercereran di mana-mana, mainanan berhamburan di setiap penjuru kamar, istri yang layu karena kelelahan, kecantikan yang dulu selalu menjadi bintang kejora seolah terhapus sudah. Inilah yang mungkin dikatakan orang dengan kehidupan yang sebenarnya. Pada saat memasuki gerbang pernikahan berarti memasuki gerbang kehidupan nyata.

Mengapa pada saat masuk ke dalam dunia rumah tangga dikatakan memasuki dunia nyata? Mengapa ada istilah itu? Berdasarkan pengalaman dan hasil pengamatan, mungkin di dalam dunia itulah kita merasakan pahit getirnya kehidupan, tanggung jawab seorang manusia, dituntut mandiri, namun juga merasakan apa yang disebut dengan sandaran hidup, kehangatan teman batin, dan juga mencintai dan dicintai secara altruistic yang dibangun atas ketulusan bukan emosi, sehingga tak lekang oleh waktu. Inilah yang disebut dengan kehidupan nyata yang menyatakan kenyataan hidup bahwa aku adalah seorang suami, yang tak dapat dipungkiri masih belajar menjadi seorang ayah untuk putri-putriku, dan semoga menjadi suami yang baik bagi istriku meskipun bukan yang terbaik.

Pada kenyataannya itulah yang sebenarnya. Tidak mungkin mengulang waktu karena hasilnya belum tentu beda. Apa yang dilakoni hari ini adalah satu hal yang pasti, hasil dari ikhtiar dan keputusan-keputusan di masa lalu. Haruskah di sesali? Bukan, namun untuk disyukuri karena yang harus terjadi – terjadilah. Menerima kenyataan bukan berarti suatu bentuk penyerahan diri, namun menikmatinya sebagai rasa syukur atas hidup ini, dengan kata lain mencintai apa yang dimiliki saat ini – menjadi seorang ayah dan suami. Seperti halnya kita berada di atas sampan di tengah arus sungai yang deras, bukan terhanyut melainkan berlabuh mengarungi sungai dan menikmati pemandangan di sekitarnya, jika pun ada arus deras, batu terjal, meliuk, menikung, bahkan air terjun itu semua hanyalah bagian dari perjalanan sungai ini. So, why don’t just sit back and enjoy the ride. Bon voyage!!!